URGENSI DALAM MEMILIH PASANGAN
SOLEH / SHALIHAH DALAM MENDIDIK ANAK
Disusun Oleh : Dedi Saputra
Abstrak
Dalam
pandangan Islam, masalah pernikahan mendapatkan perhatian khusus, lebih-lebih
dalam memilih pasangan hidup, sehingga rumah tangga yang dibangun benar- benar
kokoh dan bahagia. Sebab pembinaan rumah tangga berarti juga berdampak
keselamatan, kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemaslahatan dan kemuliaan
umat manusia secara keseluruhan. Dalam masalah yang multikompleks seperti
inilah Islam tidak pernah menganggap norma-norma material dan fenomena-fenomena
yang menarik lainnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi, Islam memberikan
landasan yang sangat mendasar bagi tercapainya sebuah bangunan rumah tangga
yang bahagia, sejahtera, penuh kedamaian dan ketentraman.
Namun,
untuk mencapai pernikahan, Islam mensyariatkan terlebih dahulu untuk meminang
(khitbah). Dalam hal ini diletakkan dasar-dasar untuk menetapkan memilih pasangan
hidup, sebagaimana yang menjadi kecenderungan manusia pada umumnya. Akhirnya,
rumah tangga yang terbentuk merupakan tujuan ideal suami-istri.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan pesantren dan temanya adalah, “Urgensi Dalam Memilih Pasangan Shalih/Shalihah Dalam Mendidik Anak”. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif, yang penulis gunakan
adalah library research yaitu
mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan objek
penelitian atau penelitian yang bersifat kepustakaan.
Islam
telah mengatur cara memilih atau kriteria pasangan yang baik sebelum melewati
jenjang pernikahan. Selain tentunya memprioritaskan sosok yang punya
kesungguhan dan konsistensi dalam beragama Islam.
A.
PENDAHULUAN
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga
mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup
karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan
tetapi diniatkan untuk selama - lamanya sampai akhir hayat kita. Muslim atau Muslimah
dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapimembutuhkan waktu.
Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak
menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan
apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya
yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri
atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak - anaknya
demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung
jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu,
janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga
kelak. Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup untuk
pendamping kita selama-lamanya, Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh
Islam dalam memilih calon istri atau suami ?
B.
Pembahasan
1.
Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam pandangan Islam, masalah pernikahan mendapatkan perhatian
khusus, lebih-lebih dalam memilih pasangan hidup, sehingga rumah tangga yang
dibangun benar- benar kokoh dan bahagia. Sebab pembinaan rumah tangga berarti
juga berdampak keselamatan, kebahagiaan individu, masyarakat, serta
kemaslahatan dan kemuliaan umat manusia secara keseluruhan. Dalam masalah yang
multikompleks seperti inilah Islam tidak pernah menganggap norma-norma material
dan fenomena-fenomena yang menarik lainnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi,
Islam memberikan landasan yang sangat mendasar bagi tercapainya sebuah bangunan
rumah tangga yang bahagia, sejahtera, penuh kedamaian dan ketentraman. Dan
menikah adalah sarana terbaik untuk menghasilkan keturunan[1]
Adapun hal penting untuk dipahami bahwa Islam merupakan agama yang
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Esensi ajaran Islam yang memuat tuntunan
akidah, hukum syariat dan akhlak semata berorientasi untuk mewujudkan kebaikan
Allah memberikan pengarahan agar tujuan dari pernikahan tidak hanya
untuk mencapai kebahagiaan yang semu, melainkan agar mencapai ketentraman atau
sakinah, yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.
Terdapat dua faktor yang menjadikan tatanan rumah tangga mencapai sakiinah,
yakni mawaddah dan rahmah. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Dengan kata lain, dengan mawaddah tanpa rahmah, atau rahmah tanpa mawaddah
tidak dapat mencapai kehidupan yang sakiinah.
Namun, untuk mencapai pernikahan, Islam mensyariatkan terlebih
dahulu untuk meminang (khitbah). Dalam hal ini diletakkan dasar-dasar untuk
menetapkan memilih pasangan hidup, sebagaimana yang menjadi kecenderungan
manusia pada umumnya. Akhirnya, rumah tangga yang terbentuk merupakan tujuan
ideal suami-istri. Kesalahan awal dalam memilih pasangan akan membawa risiko
pada masa-masa berikutnya bagi kehidupan rumah tangga yang bersangkutan.
Pedoman untuk memilih pasangan hidup cukup banyak dan beragam. Hal
yang paling penting adalah membuat urutan langkah dan skala prioritas dalam
menyikapi dasar-dasar ini. Selanjutnya, perlu menganalisis lagi apakah semua
langkah tersebut sudah jelas bagi orang yang akan melangkahkan kakinya untuk
menikah atau belum. Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa
petunjuk di antaranya :
a)
Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak
baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya
sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam
تنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ
لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
beliau bersabda
: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama
niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi)[2]
Beberapa faktor ini disampaikan dalam sabda Rasul saw. riwayat Ibnu
Majah dari Abu Hurairah sebagaimana tersebut di atas. Hanya saja, dalam sabda
Rasul saw. Tersebut dijelaskan tidak secara pasti dan rinci maksud kata
al-diin, yang kemudian ditegaskan dengan perkataan “Jatuhkan pilihanmu pada
yang beragama”. Dari ungkapan ini, bisa saja seseorang yang beragama (baca:
Islam) “biasa”atau sederhananya “yang penting beragama Islam” termasuk ke dalam
kategori ini (al-diin).
Padahal, keberagamaan seseorang yang hanya berupa identitas tidak
cukup dijadikan sebagai hasil akhir dari penggambaran kepribadian seseorang
yang baik. Sebab, bisa saja orang yang rajin melaksanakan salat, puasa, haji
dan ibadah-ibadah lainnya, perilakunya dalam masyarakat masih jauh dari maksud
dan tujuan yang diharapkan oleh agama itu sendiri.
Oleh karena itu, sudah barang tentu sabda Rasul saw. tersebut
jangan dipahami secara parsial. Sebab, Islam dengan aturan-aturannya yang jelas
mengajarkan kesempurnaan dalam beragama (kaaffah). Maksud beragama dalam hadis
itu bukan sekadar seseorang yang melaksanakan ibadah dalam segi ritual-formal
belaka. Akan tetapi, keberagamaan orang tersebut diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Jika seorang suami, ia betul-betul suami yang bertakwa.
Adapun jika seorang istri, ia juga bertakwa, bisa memberi nasihat, bisa
dipercaya, pandai menjaga diri, berakhlak mulia,taat menjalankan perintah
agama, mengetahui hak Allah swt. dan hak suami, pandai menjaga nama baik
keluarga, tidak bermaksiat, serta berusaha menciptakan ketenangan dan kedamaian
jiwa bagi suami.
Dengan ungkapan lain, maksud agama dalam hadis tersebut adalah
keberagamaan secara hakiki dan menyeluruh (kaaffah) yang meliputi keseimbangan
antara iman dan amal sesuai dengan yang diharapkan dan dicita-citakan oleh
Islam. Dalam rangka menjalani kehidupan kelurga, terlebih kehidupan masyarakat
secara lebih luas, didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Ilahi. Dalam hadits
di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta,
keturunan, bahkan kecantikan sekalipun. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman QS. Al Baqarah : 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ
وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ
Artinya :“Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah
: 221)[3]
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan
akhlaknya, Allah berfirman QS. An Nur : 26
الْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ
وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ
لِلطَّيِّبٰتِۚ
Artinya : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26)[4]
Seorang wanita
yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar
menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita
yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya
QS. An Nisa’ : 34
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ
حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ
Artinya: Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara dirinya, oleh karena
itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)[5]
Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik
perhiasan dunia.
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah
wanita shalihah.” (HR. Muslim)
b)
Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ
الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda : ” … kawinilah perempuan penyayang dan banyak anak … .” (HR. Ahmad
dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Al Waduud
berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai
banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.
Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam
memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari
kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para
spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik
dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat
memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta
menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.
c)
Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda
yang belum pernah nikah.
Hal ini
dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di
antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang akan menyusahkan
kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan
polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali
cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan
kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan
mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak
mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang
besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :
عن جابر بن عبد
الله رضي الله عنهما قال هَلَكَ أَبِي وَتَرَكَ سَبْعَ بَنَاتٍ أَوْ تِسْعَ بَنَاتٍ
فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً ثَيِّبًا فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ ﷺ تَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ
فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا قُلْتُ بَلْ ثَيِّبًا قَالَ فَهَلاَّ
جَارِيَةٌ تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ قَالَ فَقُلْتُ
لَهُ إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَتَرَك بَنَاتٍ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ
بِمِثْلِهِنَّ فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ فَقَالَ
بَارَكَ اللهُّ لَكَ أَوْ قَالَ خَيْرًا
Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah
maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir
berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya
menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis
perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.”
Gaids perawan
lebih utama untuk dicari karena wanita janda bisa jadi hatinya masih terikat
dengan suami sebelumnya sehingga cintanya kepada suami barunya tidak sepenuhnya
(tidak sempurna), berbeda dengan gadis yang masih perawan”[6]
d)
Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan- ikatan sosial.
2.
Kriteria Memilih Calon Suami
a)
Islam
Ini adalah
kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami
sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan
akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ
وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ
مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى
النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ
اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْن
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat- ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”(QS.Al Baqarah : 221)
b)
Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih
suami, maka Islam
memberi
anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Keadaan dari
laki-laki yang akan dijadikan sebagai calon pendamping hidup pun harus
diperhatikan. Laki-laki tersebut harus memenuhi beberapa syarat.[7]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
حَدَّثـَنَا قـُتـَيـْبَةُ
حَدَّثـَنَ ا عَبْدُ الحْمِيدِ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ عَجْلاَ نَ عَنْ ابْنِ
وَثِيمَةَ النَّصْرِيِّ عَنْ أَبيِ هُرَيـْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ ا
َّ صَلَّى ا َّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تـَرْضَوْنَ دِينَهُ
وَخُلُقَهُ فـَزَوِّجُو هُ إِلاَّ تـَفْعَلُوا تَكُنْ
فِتـْنَةٌ فيِ الأْرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيض
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan
akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak
melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah
kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan
meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan
sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman
Allah :
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى
مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ
يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai
ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang
bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan
dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan
kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan
kewajiban- kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan
kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan
nafkah. Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai,
maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu
:
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- مرفوعاً:
لاَ يَفْرَك مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَة إِنْ كَرِه مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَر
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki)
pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga
kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan
berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada
seorang laki-laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika
laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak
menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya
mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada
orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
C. Kesimpulan
Islam telah mengatur cara memilih atau kriteria pasangan yang baik
sebelum melewati jenjang pernikahan. Selain tentunya memprioritaskan sosok yang
punya kesungguhan dan konsistensi dalam beragama Islam. Dalam pernikahan
terkandung maksud agar agama seseorang semakin sempurna, nafsu birahinya tidak
serakah, terjaga ketahanan mental dan jasmani, memperkokoh tali persaudaraan,
baik antar individu maupun dengan masyarakat, menjaga kemuliaan bangsa dan
negara, serta meraih ampunan dosa. dan juga pernikahan bukan hanya sekadar
untuk melampiaskan dan mengumbar hawa nafsu birahi, sekadar mencari ajang
penyaluran seks, dan pernikahan diupayakan bukan hanya untuk waktu yang singkat
tapi pernikahan senantiasa langgeng bahkan sampai di akhirat kelak. maka dari
itu semua, islam mengatur segala sesuatunya dari mulai kita memilih calon
istri/suami jangan sembarangan memilih begitu saja tapi ada kriteria tertentu
yang harus kita lihat, khitbah, akad, dan seterusnya agar semuanya teratur dan
menjadi berkah.
D. DAFTAR PUSTAKA
A. Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya (Yogyakarta:
Mitra Pustaka,
2007), hlm.
Al-Hafizh
Zaki Al-Dun ‘Abd Al-Azhin Al-Munaziri, Ringkasan Shohih Muslim, terj. Syinqithy
Djamaluddin dan H.M. Mochtar Zoerni, cet. II, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009,
Ahmad
Umar Hasyim, dkk, Wahai Keluargaku Jadilah Muiara Yang Indah, (Jakarta: Pustaka
Progressif, 2005),
‘Adil Fathi ‘Abdullah, 25
Wasiat Rasulullah Menuju Rumah Tangga Sakinah (Bandung:Irsyad Baitus Salam,
2004),
Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini bin Majah,
Sunan Ibn Majah, Juz I (Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-’Arabi, 1395 H),
Departeman Agama RI., Al-Quran
dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2007)
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopei Islam
al-Kamil, terj. Ahmad Munirbadjeberdkk., Jakarta: Darus sunnah Press, 2011,
Imam Muhammad abdurrahman al mubarokfuri, Tuhfatul Ahwadzi
Syarah at Tirmidzi, Mesir
, Darul Hadis, 2005
[1] Muhammad bin
Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopei Islam al-Kamil, terj. Ahmad
Munirbadjeberdkk., Jakarta: Darus sunnah Press, 2011, hlm 10152
[2] Al-HafizhZaki Al-Dun ‘Abd Al-Azhin Al-Munaziri, Ringkasan Shohih
Muslim, terj. SyinqithyDjamaluddin dan H.M. MochtarZoerni, cet. II, Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2009, hlm. 430.
[3] QS. Al Baqarah : 221
[4]QS. An Nur : 26
[5] QS. An Nisa’ : 34
[6] Imam
Muhammad abdurrahman al mubarokfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarah at Tirmidzi, Mesir , Darul Hadis, 2005 jilid 4/191
[7] Ahmad Umar Hasyim, dkk, Wahai Keluargaku Jadilah Muiara Yang Indah,
(Jakarta: Pustaka Progressif, 2005), hlm. 40
Komentar
Posting Komentar