PESANTREN KARAKTERISTIK
DAN UNSUR – UNSUR KELEMBAGAAN
Penyusun : Dedi Saputra
Abstrak
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan dan tempat penyebaran Islam, lahir dan berkembang
sejajar dengan perkembangan Islam di Nusantara. Sebagai lembaga pendidikan pada
awalnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran diberikan secara non klasikal
yaitu sistem sorogan Tujuan awalnya adalah pendidikan agama secara mendasar dan
khatam Alquran.
Perkembangan
pesantren ditanah air berkembang sesuai dengan zaman, dan jika pada awalanya
hanya terfokus dalam ilmu agama saja karena tujuan utamanya adalah mencetak
ulama. Tetapi waktu berikutnya menuntut pesantren untuk berbenah diri dan
memperbaharui kurikulumnya dan pada akhirnya bukan ilmu agam saja yang
diberikan tetapi juga ilmu pengetahuan umum.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan pesantren dan temanya adalah, “Pesantren, Karakteristik dan Unsur – Unsur Kelembagaan ”. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang
penulis gunakan adalah library research yaitu mengumpulkan buku-buku
yang berkaitan dengan objek
penelitian atau penelitian yang bersifat kepustakaan.
Pesantren
sebagai pendidikan asli Indonesia tentunya terus berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman.
Perkembangan selanjutnya, keberadaan yang demikian tidak dapat
dipertahankan lagi. Pesantren terus menginovasi diri dan sebagai upaya
mengulamakan intelek dan mengintelekkan ulama maka secara alamiyah pesantren
terus mengadakan perubahan terutama dalam kurikulum.
A. PENDAHULUAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan tempat penyebaran Islam,
lahir dan berkembang sejajar dengan perkembangan Islam di Nusantara. Sebagai
lembaga pendidikan pada awalnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
diberikan secara non klasikal yaitu sistem sorogan Tujuan awalnya adalah
pendidikan agama secara mendasar dan khatam Alquran.
Orang-orang yang baru masuk Islam ingin mempelajari dan mengetahui
agama Islam lebih lanjut, ingin belajar shalat maupun membaca Al-quran, maka
pesantren dijadikan sebagai pusat kegiatan. Suganda Purbakawatja mengemukakan
bahwa “pesantren di Jawa dan perguruan-perguruan serupa di Sumatera sistemnya
berasal dari zaman sebelum datangnya Islam. Pesantren lebih banyak menyerupai
perguruan Hindu dari perguruan Arab, walaupun coraknya Islam. [1]
Lambat laun lembaga-lembaga pendidikan yang awalnya dari agama
Hindu berubah menjadi perguruan Islam. Pesantren terus berkembang seirama
dengan perkembangan umat Islam di Indonesia, sehingga dengan pesantren dapat
disebut “Indegenous Cultura atau bentuk asli bangsa Indonesia” [2] dan
tentunya lembaga pendidikan pesantren merupakan kelanjutan dari sistem
pendidikan mandala Hindu Budha.[3]
B.
Pembahasan
Pesantren adalah sebuah lembaga sistem pendidikan dan pengajaran
asli Indonesia yang paling besar dan mengakar kuat.[4]
Pesantren disamping sebagai lembaga pendidikan formal yang terus mengalami
perubahan ke arah modernitas dan masa depan yang gemilang, juga lembaga yang
melakukan kontrol sosial
Perkembangan pesantren ditanah air berkembang sesuai dengan zaman,
dan jika pada awalanya hanya terfokus dalam ilmu agama saja karena tujuan
utamanya adalah cetak ulama. Tetapi waktu berikutnya menuntut pesantren untuk
berbenah diri dan memperbaharui kurikulumnya dan pada akhirnya bukan ilmu agam
saja yang diberikan tetapi juga ilmu pengetahuan umum.
a)
Karakteristik Lembaga Pendidikan Pesantren
Pesantren disamping sebagai lembaga pendidikan formal yang terus
mengalami perubahan ke arah modernitas dan masa depan yang gemilang, juga
lembaga yang melakukan kontrol sosial(social control) dan lembaga yang
melakukan rekayasa sosial (social engineering).[5]
Walaupun pesantren selalu merespon modernitas yang terjadi, tetapi lembaga ini
tetap tidak meninggalkan kultur aslinya, di sini letak keunikan lembaga
pendidikan pesantren dibanding lembaga pendidikan lainnya. Karenanya, pesantren
saat ini terus dituntut untuk mendidik para santri mempunyai tiga wawasan
sekaligus yaitu wawasan Ke Islaman, wawasan Ke Indonesiaan,wawasan Ke Ilmuan.
Ke-Islaman ditandai dengan keikutsertaan dunia pendidikan Islam
secara aktif dalam pembangunan Indonesia akan menampilkan Indonesia dalam
bentuk “baru”. Nurcholish pernah mensinyalir bahwa Indonesia mendatang seperti
sosok “santri yang canggih”. Nurcholish menyelaraskan Indonesia dengan santri,
karena pada dasarnya sosok santri itu sebagai penampilan yang egaliter, terbuka
kosmopolit, dan demokratis.[6] Konsep dasar yang dimunculkan Cak Nur hanya
sebatas bagaimana menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam
daerah pengawasan nilai agama, moral dan etika. Karena pada prinsipnya, asal
mula semua cabang ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Ketika
para intelektual Muslim mampu mengembangkan dan meng-Islamkan ilmu pengetahuan
modern itu, dunia Islam akan dapat mencapai kemakmuran dalam berbagai bidang,
seperti yang dicontohkan pada masa Islam klasik. Saat ini umat Islam hanya
dapat menyaksikan bekas-bekasnya saja.[7]
Ke-Indonesiaan, bahwa dalam memodernisasi dunia pendidikan Islam
Indonesia adalah kemodernan yang dibangun dan berakar dari kultur Indonesia
serta dijiwai semangat keimanan. Maka untuk merekonstruksi institusi pendidikan
tersebut perlu mempertimbangkan sistem pesantren yang mempertahankan tradisi
belajar “kitab-kitab klasik” ditunjang dengan upaya internalisasi unsur
keilmuan “modern”. Pesantren dijadikan model awal, sebab disamping sebagai
warisan budaya Indonesia, pesantren juga menyimpan potensikekayaan khazanah
Islam klasik yang terletak pada tradisi belajar kitab kuningnya.[8]
Ke-ilmuan, Nurcholish menyadari, bahwa kejayaan Islam klasik adalah
karena unggulnya perpaduan keilmuan yang telah mengantarkan Islam pada era
keemasan dan kemajuan. Sementara itu realitas dunia pendidikan Islam
“pesantren” tradisional di Indonesia masih melihat keengganan untuk mengadopsi
“ilmu-ilmu umum”. Lembaga ini mempertahankan aspek keilmuan Islam klasik saja.
Aspek ini dari satu sisi punya nilai posistif sebagai salah satu aset yang
dimilikinya dan patut untuk dilirik kembali dalam pembangunan sistem pendidikan
pada abad keruhanian ini. Untuk kelengkapannya pesantren perlu mengadopsi
pengetahuan modern.[9]
Disinilah terbukanya pesantren untuk menjadi lembaga pendidikan yang akomodatif
sekaligus menjadi lembaga pendidikan alternatif untuk masa depan, serta menjadi
pilihan para orang tua untuk memasukkan putera puterinya ke lembaga tersebut.
Kalangan pesantren menempatkan ilmu bukan sebagai ideologi yang
tertutup. Terlebih sebagai lembaga pendidikan, ilmu-ilmu pesantren – dengan
meminjam kategorisasinya, bersifat terbuka dan dalam memperlakukan sebuah fakta
berangkat dari fakta sosial.[10] Disamping
itu, pesantren adalah dipengaruhi pendidikan dari Makkah. Sepulangnya ke
kampung halaman, para pelajar yang mendapat gelar “haji” ini mengembangkan
pendidikan di tanah air yang bentuk kelembagaannya kemudian disebut “pesantren”
atau “pondok pesantren”.[11]
Pesantren memiliki kultur khas yang berbeda dengan budaya
sekitarnya. Beberapa peneliti menyebut sebagai sebuah sub-kultur yang bersifat
idiosyncratic. Cara pengajarannya pun unik. Sang kyai, yang biasanya adalah
pendiri sekaligus pemilik pesantren, membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan
klasik berbahasa Arab (dikenal dengan sebutan “kitab kuning”), sementara para
santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngesahi, jawa) pada kitab yang
sedang dibaca. Metode ini disebut bandongan atau layanan kolektif (collektive
learning process). Selain itu, para santri juga ditugaskan membaca kitab,
sementara kyai atau ustadh yang sudah mumpuni menyemak sambil mengoreksi dan
mengevaluasi bacaan dan performance seorang santri. Metode ini dikenal dengan
istilah sorogan atau layanan individual (individual learning process). Kegiatan
belajar mengajar di atas berlangsung tanpa penjenjangan kelas dan kurikulum
yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa.[12]
M sulton Masyhad dan Muhammad Khusnudiro dalam buku manajeman pondok
pesantren mengatakan ada beberapa krakteristik pesantren yang mendasar antara
lain :
1. Adanya hubungan yang akrab antara
santri dan kyai. Kyai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini memungkinkan
karena mereka sama – sama tinggal dalam suatu komplek dan sering bertemu baik
di saat belajar maupun dalam pergaulan sehari – hari.
2. Kepatuhan santri kepada kyai. Para
santri menganggap bahwa menentang kyai selain tidak sopan juga dilarang agama.
Bahkan tidak memperoleh barkah karena durhaka kepada guru.
3. Hidup hemat dan sederhana benar –
benar mewujudkan dalam lingkungan pesantren, hidup mewah hampir tidak
didapatkan disana.
4. Kemandirian amat terasa di
pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya
sendiri dan memasak sendiri.
5. Jiwa tolong menolong dan suasana
persaudaraan ( ukhwah Islamiyah ) sangat mewarnai pergaulan di pesantren, ini
disebabkan selain kehidupan yang merata di kalangan santri juga karena mereka
harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang sama, seperti shalat berjama’ah, membersihkan
masjid, dan ruang belajar bersama.
6. Disiplin sangat dianjurkan. Untuk
menjaga kedisiplinan ini, pesantren biasanya memberikan sanksi – sanksi
edukatif.
7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan
yang mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan I’tikaf.
Shalat tahadjud dan bentuk – bentuk riyadhoh lainnya tau meneladani kyai yang
menonjolkan sikap zuhud.
8. Pemberian ijazah. Yaitu pencantuman
nama dan satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri
– santri yang berprestasi.
Ciri-ciri diatas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuknya
yang masih murni ( tradisonal ). Adapun penampilan pendidikan pesantren
sekarang yang lebih beragam merupkan akibat dinamika dan kemajuan zaman yang
telah mendorong terjadinya perubahan yang terus menerus sehingga lembaga
tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa[13][9].
Bila melihat kondisi
pesantren dewasa ini cukup dinamis perkembangan pesantren, baik dalam sosial
keagamaan maupun pendidikan. Bahkan mayoritas pesantren dewasa ini
menyelenggarakan sekolah modern seperti madrasah dan sekolah umum serta
Perguruan Tinggi Agama Islam maupun universitas umum. Orientasi pesantren
sekarang juga sudah berubah, tidak hanya spiritual keagamaan saja tetapi juga
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b)
Unsur-Unsur Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia
Apa sebetulnya
persyaratan – persyaratan pokok suatu lembaga pendidikan baru dapat di
golongkan sebagai pesantren. Untuk itu perlu di lihat apabila telah mencukupi
elemen – elemen pokok pesantren. Zamakhsari Dhafier mengemukakan bahwa “pondok,
masjid, santri, pengajian kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima elemen
dasar dari tradisi pesantren”.[14]
a.
Pondok
Istilah pondok kemungkinan berasal dari kata “funduk” yang berarti
penginapan atau hotel. Tetapi kata pondok itu khususnya dalam pesantren lebih
mirip sebagai pemondokan dalam lingkungan padepokan yaitu perumahan sederhana
yang dipetak-petak dalam kamar merupakan asrama bagi para santri. [15] Para
santri tidur dan belajar di pondok pesantren dan pada saat ini pondok pesantren
merupakan gabungan antara pondok dan memberikan pendidikan dan pengajaran
dengan sistem sorogan dan wetonan. Pondok pesantren tidak selamanya ada
pemondokan, maka namanya hanya pesantren saja. Tetapi jika disediakan pondok
maka namanya menjadi pondok pesantren. Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar
Dewantara, seperti yang dikatakan oleh H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
mengemukakan bahwa “Sistem pondok dan asrama adalah sistem nasional”.[16]
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus memiliki asrama bagi
para santri. Pertama, kemasyuran seorang kyai dan kedalaman ilmu pengetahuan
tentang Islam menarik santri – santri dari jauh. Kedua hampir semua pesantren
berada di desa – desa dimana tidak tersedia perumahan ( akomodasi ) yang cukup
untuk dapat menampung santri – santri, dengan demikian perlulah adanya suatu
asrama khusus para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara santri dan
kyai, di mana para santri menganggap kyainya seolah – olah sebagai bapaknya
sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan tuhan yang harus
senantiasa dilindungi.[17]
b.
Masjid
Pada sebuah
pesantren, masjid merupakan unsur yang pokok, masjid dengan fungsi utamanya
adalah tempat shalat lima waktu ditambah dengan shalat Jum’at. Masjid dapat
diperankan sebagai tempat pendidikan bagi orang dewasa dan anak – anak. Dalam
masjid berlangsung komunikasi antara santri dengan kyai dalam membahas
kitab-kitab literatur yang diperbincangkan. Dengan demikian, masjid dijadikan
oleh pimpinan pesantren sebagai tempat diskusi keilmuan, meskipun pesantren
sudah mempunyai local-lokal yang banyak.
Fungsi masjid
tidak saja hanya untuk shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti
pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman Rasullullah masjid berfungsi sebagai
tempat ibadah dan urusan – urusan kemasyarakatan serta pendidikan.[18] Masjid
sebagai pusat pendidikan Islam telah berlangsuing sejak masa Rasulullah,
dilanjutkan oleh Khulafa al – Rasyidin, dinasti bani Umayyah, Abbasiyah,
Fathimiyah dan dinasti - dinasti lain. Tradisi itu tetap di pegang oleh para
kyai pemimpin pesantren untuk menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan[19]
c.
Santri
Kata santri
dalam khasanah kehidupan bangsa Indonesia mempunyai dua makna. Pertama,
menunjukkan sekelompok peserta sebuah pendidikan atau pondok dan yang kedua
adalah menunjuk budaya sekelompok pemeluk Islam.[20]
Dalam pesantren, santri yang belajar pada pesnatren pada dasarnya ada dua
bentuk yaitu:
a. Santri mukim, yaitu santri yang menetap pada pondok yang
disediakan oleh pondok pesantren.
b. Santri kolong, yaitu santri yang tidak menetap pada asrama yang
ada pada pesantren dan mereka tinggal disekitar pondok pesantren. Pesantren
yang menyediakan pondok untuk santri mukim disana biasanya pesantren besar
seperti di Jawa, Pesantren Ponorogo, Tebu Ireng, Jombang, dan Pesantren
Darussalam di Martapura serta pesantren lainnya. Semakin banyak santri yang
mukim pada sebuah pesantren merupaka sebuah kebanggaan tersendiri bagi
pesantren. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa pesantren tersebut sangat
diminati oleh masyarakat.
Ada beberapa alasan seorang santri pergi dan menetap
di suatu pesantren diantara lain adalah :
- Ia
ingin mempelajari kitab – kitab lain yang membahas Islam secara mendalam
dibawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut.
- Ia
ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang
pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren – pesantren
yang terkenal.
- Ia
ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban
sehari – sehari di rumah keluarganya. Disamping itu dengan tinggal di
sebuah pesantren yang sangat jauh letaknya dan rumahnya sendiri ia tidak
mudah pulang balik meskipun kadang – kadang mengiginkannya
- Pengajar kitab – kitab Islam
Klasik.[21]
d. Pengajaran kitab klasik
Kitab klasik
atau sebutan lain Kitab Kuning sudah merata dikenal secara luas. Tetapi
pengertian tentang kitab kuning atau klasik belum secara luas disepakati. Ada
yang membatasi kitab kuning/klasik dengan tahun karangan, ada yang membatasi
kitab teologi, fiqih, tafsir dan lainnya. Kitab-kitab kuning/klasik dalam
kalangan pesantren disebut dengan “Kitab Gundul” karena tidak diberi syakl dan
memberi sebutan kitab kuno. [22]
Afandi lebih lanjut
mengatakan bahwa kitab kuning selalu dipandang kitab - kitab keagamaan berbahasa Arab atau berhuruf
Arab sebagai produk pemikiran ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan
format khas pra-modern. [23]
Masdat F.
Mas’udi lebih lanjut mempertegas bahwa kitab kuning adalah karya tulis (tulis:
Arab) yang di susun para sarjana Islam abad pertengahan dan karena itu sering
disebut pula dengan Kitab Kuno.[24]
Hampir seluruh kitab kuning itu mempunyai dua kompenen yaitu kompenen matan dan
komponen syarah. Matan diuraikan oleh syarah dalam kitab kuning kasik.
Penjelasan lebih lanjut tentang kitab kuning / klasik ini adalah :
a. Ditulis oleh
ulama-ulama “asing” tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang
dipedomani oleh para ulama Indonesia.
b. Ditulis oleh
ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”.
c. Ditulis oleh
ulama Indonesia sebagai barometer atau terjemahan atas kitab karya ulama
“asing”.
Dalam
penggunaan kitab kuning/klasik pada pesantren ada dua metode yang digunakan
yaitu metode sorogan yaitu santri membacakan kitab kuning dihadapan kyai,
langsung disaksikan kyai diabsahkan bacaan santri, baik dalam konteks makna
maupun bacaan (nahu dan sahrf). Sedangkan pada acara kedua, santri secara
bersama-sama mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kyai, sambil membuat
catatan pada bukunya. Kemampuan santri dalam membaca kitab kuning/klasik adalah
kriteria yang paling mendasar dalam menilai kemampuan santri. Kitab kuning/
klasik merupakan kumpulan kodifikasi tata nilai yang dianut oleh masyarakat pesantren.
Secara lebih
terinci Azyumatdi Azra mendefinisikan kitab kuning adalah “Kitab-kitab
keagamaan berbahasa Arab Melayu atau Jawa atau berbahasa lainnya di Indonesia
dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ulama Timur Tengah juga
ditulis oleh ulama Indonesia sendiri”. [25]
Dari definisi
kitab kuning/klasik di atas, didapat suatu titik temu, bahwa pada dasarnya
kitab kuning itu adalah kitab keagamaan, baik dengan bahasa aslinya yaitu
bahasa Arab ataupun yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia atau
buku-buku agama yang ditulis oleh ulama Indonesia, tetapi tetap menggunakan
aksara Arab, meskipun bahasanya dengan bahasa Indonesia atau bahasa arab.
e. Kyai
Dalam bahasa
Jawa, pengertian kyai mempunyai makna yang luas. Sebutan kyai dapat berarti
orang yang mempunyai sifat yang istimewa dan dihormati atau benda-benda yang
punya kekuatan sakti. Keris Jawa dikatakan sakti bila sang Empu sanggup, dari
logam dan dengan cara-cara membuatnya serta upacara doa dan mantra memasukkan
kesaktian kedalamnya. Keris-keris semacam itu dimiliki atau diberi predikat
“Kyai”.[26]
Pengertian kyai
yang lain, bahwa dalam kebudayaan Jawa tradisional laki - laki yang berusia
lanjut, arif dan dihormati juga sebutan kyai melekat pada dirinya. Terutama
bila ia sebagai “pimpinan masyarakat setempat dan akrab dengan rakyatnya,
memiliki pengaruh kharismatik, wibawa, walaupun kedudukan sosial mereka yang
istimewa tidak mengubah gaya hidupnya yang sederhana”. [27]
Sedangkan
pengertian kyai khususnya oleh masyarakat pesantren berupa gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi
pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
[28]
Kepemimpinan
kyai dalam pesantren sangat unik, relasi antara kyai dengan santri dibuat atas
dasar kepercayaan, bukan atas dasar hubungan darah atau kepemimpinan. Ketaatan
para santri kepada kyai disebabkan ingin mendapat barokah. Kyai Abdur Rahma
Wahid memposisikan pesantren sebagai sub kultur tersendiri dalam pelataran
kultur masyarakat dan bangsa Indonesia. Ini disebabkan pesantren sebagai hasil
dari pergulatan kebudayaan yang kreatif antara tradisi kajian, sistem
pendidikan dan pola interaksi, kyai-santri masyarakat yang dibangun, pesantren
akhirnya memiliki pola yang spesifik. [29]
Zamakhsari Dhofier
menemukan bahwa sejak Islam masuk di Jawa, para kiai selalu terjalin oleh
intellectual chains (rantai intelektual) yang tidak terputus. Ini menandakan
antara satu pesantren dengan pesantren lain, baik dalam satu kurun zaman maupun
dari satu generasi ke generasi berikutnya, terjalin hubungan intelektual yang
mapan hingga perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren
sebenarnya. Keabsahan (authenticity) ilmunya dan jaminan yang ia miliki sebagai
seorang yang diakui sebagai murid kiai terkenal dapat ia buktikan melalui mata
rantai transmisi yang biasanya ia tulis dengan rapi dan dapat dibenarkan oleh
kiai-kiai lain yang masyhur yang seangkatan dengan dirinya. Dalam tradisi
pesantren, rantai transmisi ini disebut sanad.[30]
C. Kesimpulan
Pesantren sebagai pendidikan asli Indonesia tentunya terus
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Jika pada awalnya
pesantren kajian keilmuannya hanya ilmu-ilmu keagamaan saja, sifatnya plural
dalam arti bahwa satu pesantren dengan pesantren lainnya tidak sama dan sangat
ditentukan oleh keahlian kyai. Tujuan utamanya adalah mencetak ulama.
Perkembangan selanjutnya, keberadaan yang demikian tidak dapat dipertahankan
lagi. Pesantren terus menginovasi diri dan sebagai upaya mengulamakan intelek
dan mengintelekkan ulama maka secara alamiyah pesantren terus mengadakan
perubahan terutama dalam kurikulum. Sekolah-sekolah formal terus berdiri pada
pesantren, baik madrasah maupun sekolah umum. Kurikulum pada pesantren juga
berubah, pendidikan keterampilan, pendidikan olahraga dan kesenian, bahasa
inggris, pramuka, komputer diadakan. Madrasah dan sekolah umum pada pagi hari,
maka pendidikan pesantrennya diberikan pada sore dan malam hari.
Pendidikan pada pesantren terus mengalami perubahan, keberadaan
kyai dan kitab kuning tetap mendapat posisi sebagaimana mestinya. Kalau pada
awalnya pesantren banyak merupakan hak pribadi kyai, tetapi saat ini pesantren
banyak dikelola secara bersama, kyai dan kitab kuning tetap menjadi ciri khas
suatu pesantren termasuk pemondokan santri. Kyai sebagai kodifikasi sistem
nilai dan kitab sebagai acuan nilai yang ada pada pesantren tetap berjalan
sesuai dengan dinamika pesantren.
D. DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, (1999), Pendidikan Islam Tradisi dan Modern
Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Departemen Agama RI, (1981), Standarisasi Pengajaran Agama di
Pondok Pesantren, Jakarta.
Dhafler, Zamakhsari, (1984), Tradisi Pesantren, Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LPES.
Djaelani, H.A. Timur, (1983), Peningkatan Mutu Pendidikan dan
Pembangunan Perguruan Agama. Editor Abd. Rahman Shaleh, Jakarta:
Dermaga. Kafrawi, H., (1978), Pembaharuan Sistem Pondok
Pesantren, sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan
Bangsa, Jakarta: Cemara Indah.
Majid, Nurcholish, (1997), Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret
Perjalanan, Jakarta:
Paramadina. Mastuhu, (1998), Prinsip Pendidikan Pesantren,
Dinamika Pesantren, Editor Manfred Oepenl Walgang Karcher, Terjemahan Sonhaji
Saleh, Jakarta : P3M.
Mokhtar, Afandi, (1999), Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi
Umum, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
Marzuki Wahid, dkk, Bandung: Pustaka Hidayah.
Mulkhan, Abdul Munir, (1994), Runtuhnya Mitos Politik Santri,
Strategi Kebudayaan Dalam Islam, Jakarta: SIPRESS. Perwiranegara,
H. Alamsyah Ratu, (1979), Pembinaan Kehidupan Beragama Dalam
Pembangunan Nasional, Departemen Agama RI.
Rahardjo, M. Dawam, (1985), Dunia Pesantren Dalam Peta
Pembaharuan, Jakarta: LP3ES.
Tazkiya Jurnal Pendidikan Islam ISSN 2086-4191 Vol. VIII. No. 2, Juli – Desember 2019
Sumardi, Mulyanto, (1977), Sejarah Singkat Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta:
Departemen Agama RI. Suyata, (1985), Pesantren Sebagai Lembaga
Sosial Yang Hidup, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, M. Dawam
Rahardjo, Ed, Jakarta: P3M.
Ziemek, Menfred, (1986), Pesantren Dalam Perubahan Sosial,
Penerjemah Butche B. Soendjojo, Jakarta: P3M.
[1] Mulyanto
Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta , 1977, h 29
[2] Djaelani, H.A.
LPES. Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Editor Abd.Rahman
Shaleh, Jakarta Timur, 1983, h 50
[3] Departemen
Agama RI, Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren, Jakarta,1981, h3
[4] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret
Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1997), hlm. 88.
[5] M. Sulthon
Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka,
2005, cet ke-2), hlm.6.
[6] Yasmadi,
Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.122.
[7] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid Terhadap
Pendidikan Islam
Tradisional, hlm.126.
[8] Ibid h.130
[9] Ibid h.133
[10] Amin Haedari,
dkk, Masa Depan Pesantren, dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 77-78.
[11] M. Sulthon
Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, hlm. 2.
[12] Ibid h.3
[13] M sulton Masyhad dan Muhammad Khusnudiro.. Manajeman Pondok
Pesantren. (Jakarta: Dina Pustaka.2004). h. 93 – 94
[14]
Zamakhsari Dhafler, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LPES, th 1984, h 44
[15] Ibid h 51
[16] H.
Ratu Alamsyah Ratu, Pembinaan Kehidupan Beragama Dalam Pembangunan Nasional,
Departemen Agama RI, th 1979, h 84
[17] Opcit h.44-47.
[18] Haidar Putra Daulay.Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia. ( Bandung : Cita Pustaka Media.2001). h.70.
[19] Ibid h. 70 – 71
[20]
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan Dalam
Islam, Jakarta: SIPRESS. Perwiranegara, th 1994, h 1
[21] Opcit h. 51 – 52
[22]Afandi
Mokhtar, Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Umum, Pesantren Masa Depan,
Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Marzuki Wahid, dkk, Bandung:
Pustaka Hidayah, Th, 1999, h 222
[23] Ibid
[24]Ibid h 223
[25] Ibid h 111
[26]Suyata
Departemen Agama RI, Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Yang Hidup, Pergulatan
Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M. Th, 1985, h 131
[27] Ibid
[28]
Zamakhsari Dhafler, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LPES, 1984 h, 55
[29]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modern Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, th 1999, h 79
[30] Ibid h. 79
Komentar
Posting Komentar