ILMU, PROFESIONALISME

DAN ETIKA PROFESI DALAM ISLAM

      Penyusun    :  Dedi Saputra 


1.      Pendahuluan

Ilmu dan manusia merupakan suatu yang sangat erat kaitannya. Oleh karena itu Berpikir mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan atau pun ilmu. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai. Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan tersebut, seseorang dituntut untuk mengerti hakikat ilmu pengetahuan. karena ilmulah yang akan menunjukkan sebuah kebenaran hakiki.

Etika kerja Islam memberikan dampak yang baik terhadap perilaku individu dalam bekerja. Sikap kerja yang positif memungkinkan hasil yang menguntungkan seperti kerja keras, komitmen dan dedikasi terhadap pekerjaan dan sikap kerja lainnya yang tentu saja hal ini dapat memberi keuntungan bagi individu itu sendiri dan organisasi. Agama Islam adalah agama serba lengkap, yang di dalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik kehidupan spiritual maupun kehidupan material termasuk di dalamnya mengatur masalah Etos kerja. Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, diantaranya dalam Quran surat al Insirah: 7-8, yang artinya ”Apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), maka kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusa) yang lain”. Juga dijelaskan dalam hadis Rosul yang artinya: ”Berusahalah untuk urusan duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya.

Etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Manusia diciptakan di dunia ini sebagai makhluk yang paling sempurna bentuknya (fi ahsani taqwīm), yang ditugaskan untuk menyembah Allah dan menjauhi larangannya. Manusia merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah yang memiliki sejumlah kebutuhan sandang, pangan, papan, udara dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniah itu manusia bekerja, berusaha, walaupun tujuan itu tidak semata-mata hanya untuk keperluan jasmaniah semata.

 

2.      Metode Penelitian

Jenis penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang penulis gunakan adalah library research yaitu mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian atau penelitian yang bersifat kepustakaan

 

3.      Pembahasan

A.    Pengertian dan pentingnya ilmu pengetahuan

Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu.[1]

Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar. Hal ini diakui Meksim Rodorson  (seorang penulis Marxis) ketika menelaah Q.S. Ali Imrân/3: 190-191 dan Q.S. Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam al-Qur`an kata ‘aqala  (mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang harus dipahami secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari lima puluh kali dan sebanyak tiga belas kali berupa bentuk pertanyaan sebagai protes yang mengarah pada kajian ilmiyah, seperti “Apakah kamu tidak berakal?". Seandainya meneliti kata-kata lainnya: nazhara (menganalisa), tafakkara (memikirkan), faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan (bukti, argumentasi), lubb (intelektual, cerdas, berakal) dan lain-lain, niscaya akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiyah yang terdapat dalam al-Qur`an.[2] Maka dapat dikatakan bahwa ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan al-Qur`an mengisyaratkan mengenai hal ini.

Menurut al Maraghi ayat tersebut memberikan isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajirinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak dibiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.[3]

Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat: 1) akal diandalkan untuk membimbing manusia, 2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran, 3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup secular, 4) membela doktrin humanisme, 5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.

Menyadari krisis ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus ditetapkan di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebar luaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free), tetapi sarat nilai (value laden)[4]

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:

1.  Al Qur'an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.

2.  Dorongan al Qur'an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al Qur'an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.

3.  Sungguhpun banyak temuan dibidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat al Qur'an, namun al Qur'an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan. Al Qur'an tidak mencakup cabang ilmu pengetahuan.

4.  Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran al Qur'an. Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya benar, sedangkan al Qur'an bersifat mutlak dan berlaku sepanjang zaman.

5.  Al Qur'an adalah kitab yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak yang mulia.

6.  Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.

7.  Sebagai kitab petunjuk al Qur'an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaanya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

8.  Al Qur'an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu  (aksiologi).

Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (al Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu dan persayaratan tertentu.[5] Sedangkan ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.

Allah berfirman:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة:

Artinya:  “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)

 

Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun.[6]

Imam As-Syafi’i mengatakan:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

 

Artinya:  “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu.[7]

 

Abu Aswad berkata :

وقال أبو الأسود: ليس شيء أعز من العلم، الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك

Artinya : “tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari pada ilmu, kerajaan itu bertindak menghakimi manusia, sementara ulama bertindak menghakimi kerajaan”[8]

Dari perkataan abu Aswad tersebut dapat diambil ibroh bahwa ketika sistem kepemerintahan dikendalikan oleh ulama, pasti kepemerintahan tersebut akan berjalan dengan lancar dan sejahtera. Artinya ilmu pengetahuan sangat penting untuk bisa mengendalikan tatanan kenegaraan yang sistematis.

 

B.     Nilai-Nilai Islam yang Mendasari Profesionalisme

Ajaran islam sebagai agama universal sangat kaya akan pesan-pesan yang mendidik bagi muslim untuk menjadi umat terbaik, menjadi khalifa yang mengatur dengan baik bumi dan se isinya. Pesan-pesan sangat mendorong kepada setiap muslim untuk berbuat dan bekerja secara profesional, yakni bekerja dengan benar, optimal, jujur, disiplin dan tekun.

Akhlak islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW memiliki sifat-sifat yang dapat dijadikan landasan bagi pengembangan profesionalisme. Ini dapat dilihat pada pengertian sifat-sifat akhlak Nabi sebagai berikut :

a.       Sifat kejujuran (shiddiq). Kejujuran ini menjadi salah satu dasar yang paling penting untuk membangun profesionalisme. Hampir semua bentuk usaha yang dikerjakan bersama menjadi hancur, karna hilangnya kejujuran. Oleh karena itu kejujuran menjadi sifat wajib bagi Rasulullah SAW, dan sifat ini pula yang selalu si ajarkan oleh islam melalui al-qur’an dan sunah Nabi. Kegiatan yang dikembangkan di dunia organisasi, perusahaan dan lembaga modern saat ini sangat ditentukan oleh kejujuran. Begitu juga tegaknya Negara sangat ditentukan oleh sikap hidup jujur para pemimpinnya. Ketika para pemimpinnya tidak jujur dan korupsi, maka Negara itu menghadapi problem nasional yang sangat berat, dan sangat sulit untuk membangkitkan kembali.

b.      Sifat tanggung jawab (amanah). Sikap bertanggung jawab juga merupakan sifat akhlak yang sangat diperlukan untuk membangun profesionalisme. Suatu perusahaan/organisasi/ lembaga apapun pasti hancur bila orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak amanah.

c.       Sifat komunikatif (tabligh). Salah satu ciri profesional adalah sikap komunikatif dan transparan. Dengan sifat komunikatif, seorang penanggung jawab suatu pekerjaan akan dapat menjalin kerjasama dengan orang-orang lain lebih lancer. Ia dapat juga meyakinkan rekannya untuk melakukan kerja sama atau melaksanakan visi dan misi yang disampaikan. Sementara dengan sifat transparan, kepemimpinan di akses semua pihak, tidak ada kerugian, sehingga semua masyarakat anggotanya dan rekan kerjasama nya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada kepemimpinannya. Dengan begitu, perjalanan sebuah organisasi akan berjalan lebih lancer, serta mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak.

d.      Sifat cerdas (fatanah). Dengan kecerdasannya seorang profesional akan dapat melihat peluang dan menangkap peluang dengan cepat dan tepat. Dalam sebuah organisasi, kepemimpinannya yang cerdas akan cepat dan tepat dalam memahami problematikanya yang ada di lembaganya. Ia cepat memahami aspirasi anggotanya sehingga setiap peluang dapat segera dimanfaatkan secara optimal dan problem dapat dipecahkan dengan cepat dan tepat sasaran.

Disamping itu, masih terdapat pula nilai-nilai islam yang dapat mendasari pengembangan profesionalisme yaitu :

1.      Bersikap positif dan berfikir positif (husnuzh zhan). Berfikir positif akan mendorong setiap orang melaksanakan tugas-tugasnya lebih baik. Hal ini disebabkan dengan bersikap dan berfikir positif mendorong seseorang untuk berfikir jernih dalam menghadapi setiap masalah. Husnuzh zhan tersebut tidak saja ditujukan kepada sesame kawan dalam bekerja, tetapi yang paling utama adalah bersikap dan berfikir positif kepada Allah SWT. Dengan pemikiran tersebut, seseorang akan lebih bersikap objektif dan optimistic. Apabila ia berhasil dalam usahanya tidak menjadi sombong dan lupa diri, dan apanila gagal tidak mudah putus asa, dan menyalahkan orang lain. Sukses dan gagal merupakan pelajaran yang harus diambil untuk menghadapi masa depan yang lebih baik dengan selalu bertawakal kepada Allah SWT.

2.      Memperbanyak shilaturrahim. Dalam islam kebiasaan shilaturahim merupakan bagian dari tanda-tanda keimanan. Namun dalam dunia profesi, shilaturahim sering dijumpai dalam bentuk tradisi lobi. Dalam tradisi ini akan terjadi saling belajar.

3.      Disiplin waktu dan menepati janji. Begitu pentingnya disiplin waktu, al-qur’an menegaskan makna waktu bagi kehidupan manusia dalam surat al-Ashr yang diawali dengan sumpah “Demi waktu”. Begitu juga menepati janji, al-qur’an menegaskan hal tersebut dalam ayat pertama al-maidah, sebelum memasuki pesan-pesan penting lainnya. Yaitu yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Yang dimaksud aqad-aqad tersebut ialah janji-janji sesama manusia.

4.      Bertindak efektif dan efesien. Bertindak efektif artinya merencanakan, mengerjakan dan mengevaluasi sebuah kegiatan dengan tepat sasaran. Sedangkan efesien adalah penggunaan fasilitas kerja dengan cukup, tidak boros dan memenuhi sasaran, juga melakukan sesuatu yang memang diperlukan dan berguna. Islam sangat menganjurkan sikap efektif dan efesien.

5.      Memberikan upah secara tepat dan cepat. Ini sesuai dengan Hadist Nabi, yang mengatakan berikan upah kadarnya, akan mendorong seseorang pekerja atau pegawai dalam memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya secara tepat pula. Sementara apabila upah ditunda, seorang pegawai akan bermalas-malas karena dia harus memikirkan beban kebutuhannya dan merasa karya-karyanya tidak dihargai secara memadai.

 

C.    Etika Profesi Dalam Islam

Secara etimologis, menurut Endang Syaifuddin Anshari, etika berarti perbuatan, dan ada sangkut pautnya dengan kata-kata Khuliq( pencipta) dan Makhluq (yang diciptakan). Akan tetapi, ditemukan juga pengertian etika berasal dari kata jamak dalam bahasa Arab “Akhlaq”. Kata Mufradnya adalah khulqu, yang berarti : sajiyyah: perangai, mur’iiah : budi, thab’in : tabiat, dan adab: adab (kesopanan). Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan huruk dari setiap perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi,bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dan perbuatan baik dan buruk( ethics atau ‘ilm al-akhlaq) dan moral (akklaq) adalah praktiknya. Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk.[9]

Etika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah sekelompok masyarakat tersebut.[10] Istilah etika diartikan sebagai suatu perbuatan standar ( standard of conduct ) yang memimpin individu, etika adalah suatu studi mengenai perbuatan yang sah dan benar dan moral yang lakukan seseorang.[11] Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harus dipatuhi oleh manusia.

Etika juga memiliki stresing terhadap kajian sistem nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu apabila kita kaitkan etika dengan perdagangan dalam Islam, maka akan melahirkan suatu kesimpulan bahwa perdagangan harus mengacu nilai- nilai keislaman yang telah baku dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan al- Sunnah.[12] Jika etika diartikan sebagai kumpulan peraturan sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles, maka etika perdagangan dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu perdagangan yang harus mematuhi kumpulan aturan-aturan yang ada dalam islam. Pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku manusia. Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak dengan menetukannya dengan tolak ukur ajaran agama (al-Quran dan al-Sunnah).[13]

Sementara dalam bahasa arab etika dikenal juga sebagai akhlak yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Sedangkan secara istilah ada beberapa pengertian tentang etika itu sendiri seperti :

1. Menurut Hamzah Ya’kub etika adalah ilmu tingkah laku manusia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan tindakan moral yang betul , atau tepatnya etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk.

2.  Menurut Amin etika/akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat . Ajaran etika berpedoman pada kebaikan dari suatu perbuatan yang dapat dilihat dari sumbangasihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya perbuatan seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya dia memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan seseorang, maka yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada juga yang dapat menentukan suatu perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Namun dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam akhlak yaitu al-Quran dan al-Sunnah.

Manusia dalam konsepsi Islam diposisikan sebagai makhluk theomorfis yaitu makhluk dengan potensi yang dimiliki serta usaha yang dilakukannya dapat menyerupai sifat-sifat ketuhanan. Kegiatan moral, spiritual dan keduniaan manusia semuanya harus diintegrasikan dan dipadukan untuk direfleksikan satu sama lainnya. Islam memberikan suatu perspektif kepada manusia yaitu yang ditanam dan ditumbuhkan melalui pengembangan rasa pribadi yang tak lain merupakan sumber kekuatan bagi dirinya. Cita Etika Islam ialah membebaskan manusia dari rasa takut dan memberikan kepadanya suatu rasa kepribadian agar ia dapat menyadari bahwa ia adalah sumber kekuatan.[14]

Dalam Al Qur’an manusia ditegaskan sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik, yaitu orang-orang beriman dan mengerjakan amal shaleh. Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat kedewasaan dan tanggung jawab yang menjadikan dalam kehidupannya mempunyai kemampuan untuk memikul tanggung jawab terhadap amalnya. Hal ini ditegaskan Al Qur’an dengan ungkapan al-basyar. Ungkapan ini menunjukkan bahwa amal manusia harus dipertanggungjawabkan dibawah hukum manusia, masyarakat dan Tuhan.[15] Islam adalah agama yang menghargai kerja keras sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur'an antara lain Surat Az-Zumar (39) :

 

قُلۡ يَٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ إِنِّي عَٰمِلٞۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ

Artinya : Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui.[16]

 

Surat At-Taubah (09) : ayat (105)

 

وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

Artinya : Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.[17]

Berdasarkan beberapa ayat Al Qur’an di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki sikap dan pandangan bahwa kerja keras merupakan perintah Allah bernilai ibadah yang harus ditunaikan manusia. Islam menggambarkan peranan manusia dalam alam semesta ini atas dasar 3 masalah pokok penting yaitu:

a. Allah SWT menciptakan seluruh alam semesta sesuai dengan peraturan dan hukum-Nya.

b. Allah SWT memerintahkan tunduk kepada umat manusia dari seluruh alam semesta ini, apa saja yang ia butuhkan dalam usahanya untuk hidup dan kelangsungan kehidupannya. Bekerja dan berusaha merupakan fitrah dan watak manusia dalam memakmurkan planet ini, mengeksploitasi sumber-sumber kemakmuran yang ada di bumi dan mengharapkan anugerah Allah yang tersimpan dalam planet ini.

c. Kerja adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia baik jasmani maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya.[18]

Syari’ah adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Khalik maupun makhluk. Syari’at Islam merupakan ciptaan Allah SWT, sehingga tidak terbatas oleh ruang dan waktu, yaitu sistem universal, atau sesuai untuk sepanjang zaman dan semua tempat, tidak lapuk ditelan zaman dan tidak kering dimakan hari. Prinsip Syari’ah Islamiyah tidak dapat berubah, walaupun hukum-hukum cabangnya mungkin dapat berubah.[19]

 

D.    Penutup

Hakikat ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia.

Islam sangat mendorong tumbuhnya sikap profesionalisme, baik dalam kerja untuk orientasi duniawi maupun akhirat.Amal perbuatan yang ditunjukkan untuk kehidupan dunia harus dilakukan seoptimal mungkin (sebagai amal shalih), begitu juga amal perbuatan untuk tujuan akhirat.Semuanya itu meruapakan ibadah kepada Allah.Maka profesionalisme adalah pelaksanaan suatu amal atau pekerjaan dengan kualitas kerja yang tinggi dengan mutu produktivitas yang tinggi pula.

Etika profesi dalam islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian dua objek, yang pertama pengabdian kepada allah dan yang kedua adalah pengabdian atau dedikasi kepada manusia. Pengabdian dalam islam selain demi kemanusiaan juga di kerjakan demi tuhan, jadi ada unsur transenden dalam pelaksanaan profesi dalam islam. Unsure transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam islam lebih tinngi nilai pegabdiannya dibandingkan dengan pengalaman profesi yang tidak didasari oleh keyakinan iman kepada Allah.

 

E.     Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Mekar Surabaya, Danakarya, 2004

Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (maktabah syamilah, juz 1

An-Nawawi. Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1

Armas, Adnin. 2006. Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu.

Alfan, Muhammad., 2011, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Badroen,Faisal., 2006, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group, Cet. Ke- II

Muhammad, 2005, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE

Nata, Abudin. 2002. Tafsir Ayat ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Qaradhawi, Yusuf. 2003. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri. Jakarta: Gunung Agung

Syafi’ie, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an. Yogyakarta : UII Press

Ya’kub, Hamzah., 1983, Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), Bandung: CV, Diponegoro.   

Zubair, Ahmad Charis., 1995, Kuliah Etika, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.



[1] Imam Syafi’ie. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an. (Yogyakarta : UII Press, 2000). hlm. 27

[2] Yusuf Qaradhawi. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri.  (Jakarta: Gunung Agung 2003) hlm. 11

[3] Abudin Nata. Tafsir Ayat ayat Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). hlm. 159 

[4] Adnin Armas. Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”,.2006: 20.

[5] Ibid, hal. 168

[6] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (maktabah syamilah, juz 1, hlm 5)

[7] An-Nawawi. Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 20)

[8] Al Ghozali, op.cit., (maktabah syamilah, juz 1, hlm 7)

[9] Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.20-21.

[10] Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2006), Cet. Ke-

1, hlm. 5.

[11] Hamzah Ya’kub , Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV,

Diponegoro, 1983), hlm. 12.     

[12] Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1995), hlm. 13.

[13] Faisal Badroen, Op. Cit, hlm. 6.

[14] Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE, 2005, hlm. 14.

[15] Ibid , hlm. 15.

[16] Al-Qur’an Surat Az-Zumar Ayat 39, Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen

Agama RI, Mekar Surabaya, Danakarya, 2004, hlm. 664.

[17] Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 105,Ibid, hlm. 273

[18] Muhammad, Op. Cit.,, hlm. 14.

[19] Pasaribu Popy Novita, et al,“Model Sumber Daya Manusia Berdasarkan Nilai-nilai

Islam”. Jurnal Ekonomi IPB, Bogor, 2013.hlm. 1. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RANGKUMAN TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Makalah Organisasi & manajemen