ILMU, PROFESIONALISME
DAN ETIKA PROFESI DALAM ISLAM
Penyusun : Dedi Saputra
1.
Pendahuluan
Ilmu dan manusia merupakan suatu
yang sangat erat kaitannya. Oleh karena itu Berpikir mencirikan hakikat manusia
dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Berpikir pada dasarnya merupakan
sebuah proses yang membuahkan pengetahuan atau pun ilmu. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus
benar-benar dihargai. Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan tersebut,
seseorang dituntut untuk mengerti hakikat ilmu pengetahuan. karena ilmulah yang
akan menunjukkan sebuah kebenaran hakiki.
Etika kerja Islam memberikan dampak yang baik terhadap
perilaku individu dalam bekerja. Sikap kerja yang positif memungkinkan hasil
yang menguntungkan seperti kerja keras, komitmen dan dedikasi terhadap
pekerjaan dan sikap kerja lainnya yang tentu saja hal ini dapat memberi
keuntungan bagi individu itu sendiri dan organisasi. Agama Islam adalah
agama serba lengkap, yang di dalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
baik kehidupan spiritual maupun kehidupan material termasuk di dalamnya
mengatur masalah Etos kerja. Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang
menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, diantaranya dalam Quran surat al
Insirah: 7-8, yang artinya ”Apabila kamu telah selesai (dari satu
urusan), maka kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusa) yang lain”. Juga
dijelaskan dalam hadis Rosul yang artinya: ”Berusahalah untuk urusan duniamu
seolah-olah engkau akan hidup selamanya.
Etos kerja dalam Islam terkait erat dengan
nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim
untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Manusia diciptakan di
dunia ini sebagai makhluk yang paling sempurna bentuknya (fi ahsani taqwīm),
yang ditugaskan untuk menyembah Allah dan menjauhi larangannya. Manusia
merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah yang memiliki sejumlah kebutuhan
sandang, pangan, papan, udara dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniah
itu manusia bekerja, berusaha, walaupun tujuan itu tidak semata-mata hanya
untuk keperluan jasmaniah semata.
2.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang penulis gunakan adalah library research yaitu mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian atau penelitian yang bersifat kepustakaan
3.
Pembahasan
A.
Pengertian
dan pentingnya ilmu pengetahuan
Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang
berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu
ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan
berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti
proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa
berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai
ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian
penting dari ilmu.[1]
Islam sebagai agama yang sangat
menghormati ilmu pengetahuan, tidak diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat
dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Nabi saw. yang
mengangkat derajat orang berilmu, juga di dalam al-Qur`an mengandung banyak
rasionalisasi, bahkan menempati bagian terbesar. Hal ini diakui Meksim
Rodorson (seorang penulis Marxis) ketika menelaah Q.S. Ali Imrân/3:
190-191 dan Q.S. Al-Baqarah/2: 164. Menurutnya, dalam al-Qur`an kata
‘aqala (mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan
sebagian yang lain dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi
yang harus dipahami secara rasional) disebut berulang kali, tidak kurang dari
lima puluh kali dan sebanyak tiga belas kali berupa bentuk pertanyaan sebagai
protes yang mengarah pada kajian ilmiyah, seperti “Apakah kamu tidak
berakal?". Seandainya meneliti kata-kata lainnya: nazhara (menganalisa),
tafakkara (memikirkan), faqiha (memahami), ‘alima (mengerti, menyadari), burhan
(bukti, argumentasi), lubb (intelektual, cerdas, berakal) dan lain-lain,
niscaya akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiyah yang terdapat dalam
al-Qur`an.[2] Maka dapat dikatakan bahwa
ilmu itu membutuhkan pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari
sebuah pencarian, dan al-Qur`an mengisyaratkan mengenai hal ini.
Menurut al Maraghi ayat tersebut
memberikan isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta menyiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajirinya di dalam suatu negeri yang
telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang
diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak dibiarkan
mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui
oleh orang-orang yang beriman.[3]
Dalam pandangan Syed Naquib
al-Attas, ilmu pengetahuan Barat-modern yang diproyeksikan melalui
pandangan-hidupnya, dibangun di atas visi intelektual dan psikologi budaya dan
peradaban Barat. Menurutnya, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban
Barat: 1) akal diandalkan untuk membimbing manusia, 2) bersikap dualistik
terhadap realitas dan kebenaran, 3) menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup secular, 4) membela doktrin humanisme, 5)
menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan
eksistensi kemanusiaan.
Menyadari krisis ilmu pengetahuan
dalam budaya dan peradaban Barat, Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu yang
berkembang di Barat tidak semestinya harus ditetapkan di dunia Muslim. Ilmu
bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebar luaskan cara
dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai (value-free),
tetapi sarat nilai (value laden)[4]
Berdasarkan uraian tersebut di atas
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:
1. Al Qur'an sangat mendorong
dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al
Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi
yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.
2. Dorongan al Qur'an terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al
Qur'an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi
bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.
3. Sungguhpun banyak temuan dibidang
ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat al Qur'an, namun al
Qur'an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan. Al Qur'an tidak mencakup cabang
ilmu pengetahuan.
4.
Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak
sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran al
Qur'an. Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya benar, sedangkan
al Qur'an bersifat mutlak dan berlaku sepanjang zaman.
5. Al
Qur'an adalah kitab yang berisi petunjuk termasuk petunjuk dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan
peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak yang mulia.
6. Kemajuan
yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi
manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan
dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.
7. Sebagai
kitab petunjuk al Qur'an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu
pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu
pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaanya, serta
sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
8. Al
Qur'an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga
tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan manfaat ilmu
(aksiologi).
Dalam Islam sumber ilmu itu pada
garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (al Qur'an) yang
menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-ilmu agama ilmu tafsir, hadis,
fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang bersumber pada alam melalui
penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti filsafat, ilmu
sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan
dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu dan
persayaratan tertentu.[5] Sedangkan ilmu aqli dihasilkan
melalui penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut
harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang
seluas-luasnya. Oleh karena itu, peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang
berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
Allah
berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
(المجادلة:
Artinya: “Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini
mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin yang lain sejauh 700
derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun.[6]
Imam As-Syafi’i mengatakan:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya: “Barang siapa menghendaki
(kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa
menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu.[7]
Abu Aswad
berkata :
وقال أبو الأسود: ليس شيء أعز من العلم،
الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك
Artinya : “tidak ada sesuatu yang lebih
mulia dari pada ilmu, kerajaan itu bertindak menghakimi manusia, sementara
ulama bertindak menghakimi kerajaan”[8]
Dari perkataan abu Aswad tersebut dapat
diambil ibroh bahwa ketika sistem kepemerintahan dikendalikan
oleh ulama, pasti kepemerintahan tersebut akan berjalan dengan lancar dan
sejahtera. Artinya ilmu pengetahuan sangat penting untuk bisa mengendalikan
tatanan kenegaraan yang sistematis.
B. Nilai-Nilai Islam yang Mendasari Profesionalisme
Ajaran islam sebagai agama universal
sangat kaya akan pesan-pesan yang mendidik bagi muslim untuk menjadi umat
terbaik, menjadi khalifa yang mengatur dengan baik bumi dan se isinya.
Pesan-pesan sangat mendorong kepada setiap muslim untuk berbuat dan bekerja
secara profesional, yakni bekerja dengan benar, optimal, jujur, disiplin dan
tekun.
Akhlak islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW memiliki sifat-sifat yang dapat dijadikan landasan bagi
pengembangan profesionalisme. Ini dapat dilihat pada pengertian sifat-sifat
akhlak Nabi sebagai berikut :
a. Sifat
kejujuran (shiddiq). Kejujuran ini menjadi salah satu dasar yang paling penting
untuk membangun profesionalisme. Hampir semua bentuk usaha yang dikerjakan
bersama menjadi hancur, karna hilangnya kejujuran. Oleh karena itu kejujuran
menjadi sifat wajib bagi Rasulullah SAW, dan sifat ini pula yang selalu si
ajarkan oleh islam melalui al-qur’an dan sunah Nabi. Kegiatan yang dikembangkan
di dunia organisasi, perusahaan dan lembaga modern saat ini sangat ditentukan
oleh kejujuran. Begitu juga tegaknya Negara sangat ditentukan oleh sikap hidup
jujur para pemimpinnya. Ketika para pemimpinnya tidak jujur dan korupsi, maka
Negara itu menghadapi problem nasional yang sangat berat, dan sangat sulit
untuk membangkitkan kembali.
b. Sifat tanggung
jawab (amanah). Sikap bertanggung jawab juga merupakan sifat akhlak yang sangat
diperlukan untuk membangun profesionalisme. Suatu perusahaan/organisasi/
lembaga apapun pasti hancur bila orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak
amanah.
c. Sifat
komunikatif (tabligh). Salah satu ciri profesional adalah sikap komunikatif dan
transparan. Dengan sifat komunikatif, seorang penanggung jawab suatu pekerjaan
akan dapat menjalin kerjasama dengan orang-orang lain lebih lancer. Ia dapat
juga meyakinkan rekannya untuk melakukan kerja sama atau melaksanakan visi dan
misi yang disampaikan. Sementara dengan sifat transparan, kepemimpinan di akses
semua pihak, tidak ada kerugian, sehingga semua masyarakat anggotanya dan rekan
kerjasama nya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada kepemimpinannya.
Dengan begitu, perjalanan sebuah organisasi akan berjalan lebih lancer, serta
mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak.
d. Sifat cerdas
(fatanah). Dengan kecerdasannya seorang profesional akan dapat melihat peluang
dan menangkap peluang dengan cepat dan tepat. Dalam sebuah organisasi,
kepemimpinannya yang cerdas akan cepat dan tepat dalam memahami problematikanya
yang ada di lembaganya. Ia cepat memahami aspirasi anggotanya sehingga setiap
peluang dapat segera dimanfaatkan secara optimal dan problem dapat dipecahkan
dengan cepat dan tepat sasaran.
Disamping itu, masih terdapat pula
nilai-nilai islam yang dapat mendasari pengembangan profesionalisme yaitu :
1. Bersikap positif
dan berfikir positif (husnuzh zhan). Berfikir positif akan mendorong setiap
orang melaksanakan tugas-tugasnya lebih baik. Hal ini disebabkan dengan
bersikap dan berfikir positif mendorong seseorang untuk berfikir jernih dalam
menghadapi setiap masalah. Husnuzh zhan tersebut tidak saja ditujukan kepada
sesame kawan dalam bekerja, tetapi yang paling utama adalah bersikap dan
berfikir positif kepada Allah SWT. Dengan pemikiran tersebut, seseorang akan
lebih bersikap objektif dan optimistic. Apabila ia berhasil dalam usahanya
tidak menjadi sombong dan lupa diri, dan apanila gagal tidak mudah putus asa,
dan menyalahkan orang lain. Sukses dan gagal merupakan pelajaran yang harus
diambil untuk menghadapi masa depan yang lebih baik dengan selalu bertawakal
kepada Allah SWT.
2. Memperbanyak
shilaturrahim. Dalam islam kebiasaan shilaturahim merupakan bagian dari
tanda-tanda keimanan. Namun dalam dunia profesi, shilaturahim sering dijumpai
dalam bentuk tradisi lobi. Dalam tradisi ini akan terjadi saling belajar.
3. Disiplin waktu
dan menepati janji. Begitu pentingnya disiplin waktu, al-qur’an menegaskan
makna waktu bagi kehidupan manusia dalam surat al-Ashr yang diawali dengan
sumpah “Demi waktu”. Begitu juga menepati janji, al-qur’an menegaskan hal
tersebut dalam ayat pertama al-maidah, sebelum memasuki pesan-pesan penting
lainnya. Yaitu yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Yang dimaksud aqad-aqad tersebut ialah janji-janji sesama
manusia.
4. Bertindak
efektif dan efesien. Bertindak efektif artinya merencanakan, mengerjakan dan
mengevaluasi sebuah kegiatan dengan tepat sasaran. Sedangkan efesien adalah
penggunaan fasilitas kerja dengan cukup, tidak boros dan memenuhi sasaran, juga
melakukan sesuatu yang memang diperlukan dan berguna. Islam sangat menganjurkan
sikap efektif dan efesien.
5. Memberikan upah
secara tepat dan cepat. Ini sesuai dengan Hadist Nabi, yang mengatakan berikan
upah kadarnya, akan mendorong seseorang pekerja atau pegawai dalam memenuhi
kebutuhan diri dan keluarganya secara tepat pula. Sementara apabila upah
ditunda, seorang pegawai akan bermalas-malas karena dia harus memikirkan beban
kebutuhannya dan merasa karya-karyanya tidak dihargai secara memadai.
C.
Etika
Profesi Dalam Islam
Secara etimologis, menurut Endang
Syaifuddin Anshari, etika berarti perbuatan, dan ada sangkut pautnya dengan kata-kata
Khuliq( pencipta) dan Makhluq (yang diciptakan). Akan tetapi, ditemukan juga
pengertian etika berasal dari kata jamak dalam bahasa Arab “Akhlaq”. Kata
Mufradnya adalah khulqu, yang berarti : sajiyyah: perangai, mur’iiah : budi,
thab’in : tabiat, dan adab: adab (kesopanan). Etika pada umumnya diidentikkan
dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan
manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika
moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan huruk dari setiap
perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi,bisa
dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dan perbuatan baik dan buruk( ethics
atau ‘ilm al-akhlaq) dan moral (akklaq) adalah praktiknya. Sering pula yang dimaksud
dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa
perbuatan baik maupun buruk.[9]
Etika adalah salah satu cabang
filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal
dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah
pranata prilaku seseorang atau kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem
nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah sekelompok masyarakat
tersebut.[10]
Istilah etika diartikan sebagai suatu perbuatan standar ( standard of conduct )
yang memimpin individu, etika adalah suatu studi mengenai perbuatan yang sah
dan benar dan moral yang lakukan seseorang.[11]
Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harus
dipatuhi oleh manusia.
Etika juga memiliki stresing
terhadap kajian sistem nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu apabila kita
kaitkan etika dengan perdagangan dalam Islam, maka akan melahirkan suatu
kesimpulan bahwa perdagangan harus mengacu nilai- nilai keislaman yang telah
baku dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan al- Sunnah.[12]
Jika etika diartikan sebagai kumpulan peraturan sebagaimana yang diungkapkan
oleh Aristoteles, maka etika perdagangan dalam Islam dapat diartikan sebagai
suatu perdagangan yang harus mematuhi kumpulan aturan-aturan yang ada dalam
islam. Pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya terletak
pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku
manusia. Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak
ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak dengan menetukannya dengan tolak ukur
ajaran agama (al-Quran dan al-Sunnah).[13]
Sementara dalam bahasa arab etika
dikenal juga sebagai akhlak yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku
dan tabiat. Sedangkan secara istilah ada beberapa pengertian tentang etika itu
sendiri seperti :
1. Menurut Hamzah Ya’kub etika adalah ilmu tingkah laku manusia
yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan tindakan moral yang betul , atau
tepatnya etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk.
2. Menurut Amin etika/akhlak
adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat . Ajaran etika berpedoman pada kebaikan dari
suatu perbuatan yang dapat dilihat dari sumbangasihnya dalam menciptakan
kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya perbuatan seseorang dapat dilihat
berdasarkan besar kecilnya dia memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam
menentukan baik atau buruknya perbuatan seseorang, maka yang menjadi tolak ukur
adalah akal pikiran. Selain etika ada juga yang dapat menentukan suatu
perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Namun dalam menentukan baik atau
buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam akhlak yaitu al-Quran dan
al-Sunnah.
Manusia dalam konsepsi Islam
diposisikan sebagai makhluk theomorfis yaitu makhluk dengan potensi yang
dimiliki serta usaha yang dilakukannya dapat menyerupai sifat-sifat ketuhanan.
Kegiatan moral, spiritual dan keduniaan manusia semuanya harus diintegrasikan
dan dipadukan untuk direfleksikan satu sama lainnya. Islam memberikan suatu
perspektif kepada manusia yaitu yang ditanam dan ditumbuhkan melalui
pengembangan rasa pribadi yang tak lain merupakan sumber kekuatan bagi dirinya.
Cita Etika Islam ialah membebaskan manusia dari rasa takut dan memberikan
kepadanya suatu rasa kepribadian agar ia dapat menyadari bahwa ia adalah sumber
kekuatan.[14]
Dalam Al Qur’an manusia ditegaskan
sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik, yaitu
orang-orang beriman dan mengerjakan amal shaleh. Manusia adalah makhluk yang
memiliki sifat kedewasaan dan tanggung jawab yang menjadikan dalam kehidupannya
mempunyai kemampuan untuk memikul tanggung jawab terhadap amalnya. Hal ini ditegaskan
Al Qur’an dengan ungkapan al-basyar. Ungkapan ini menunjukkan bahwa amal
manusia harus dipertanggungjawabkan dibawah hukum manusia, masyarakat dan
Tuhan.[15]
Islam adalah agama yang menghargai kerja keras sebagaimana Firman Allah dalam
Al-Qur'an antara lain Surat Az-Zumar (39) :
قُلۡ يَٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ
مَكَانَتِكُمۡ إِنِّي عَٰمِلٞۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ
Artinya : Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan
keadaanmu, Sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui.[16]
Surat At-Taubah (09) : ayat (105)
وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ
فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Artinya : Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan
rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.[17]
Berdasarkan beberapa ayat Al Qur’an
di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki sikap dan pandangan bahwa kerja keras
merupakan perintah Allah bernilai ibadah yang harus ditunaikan manusia. Islam
menggambarkan peranan manusia dalam alam semesta ini atas dasar 3 masalah pokok
penting yaitu:
a. Allah
SWT menciptakan seluruh alam semesta sesuai dengan peraturan dan hukum-Nya.
b. Allah
SWT memerintahkan tunduk kepada umat manusia dari seluruh alam semesta ini, apa
saja yang ia butuhkan dalam usahanya untuk hidup dan kelangsungan kehidupannya.
Bekerja dan berusaha merupakan fitrah dan watak manusia dalam memakmurkan
planet ini, mengeksploitasi sumber-sumber kemakmuran yang ada di bumi dan
mengharapkan anugerah Allah yang tersimpan dalam planet ini.
c. Kerja
adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia baik jasmani
maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya.[18]
Syari’ah adalah hukum-hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan Khalik maupun makhluk. Syari’at Islam
merupakan ciptaan Allah SWT, sehingga tidak terbatas oleh ruang dan waktu,
yaitu sistem universal, atau sesuai untuk sepanjang zaman dan semua tempat,
tidak lapuk ditelan zaman dan tidak kering dimakan hari. Prinsip Syari’ah
Islamiyah tidak dapat berubah, walaupun hukum-hukum cabangnya mungkin dapat
berubah.[19]
D.
Penutup
Hakikat
ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik
melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan
yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika,
etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia.
Islam
sangat mendorong tumbuhnya sikap profesionalisme, baik dalam kerja untuk
orientasi duniawi maupun akhirat.Amal perbuatan yang ditunjukkan untuk kehidupan
dunia harus dilakukan seoptimal mungkin (sebagai amal shalih), begitu juga amal
perbuatan untuk tujuan akhirat.Semuanya itu meruapakan ibadah kepada Allah.Maka
profesionalisme adalah pelaksanaan suatu amal atau pekerjaan dengan kualitas
kerja yang tinggi dengan mutu produktivitas yang tinggi pula.
Etika
profesi dalam islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian dua objek, yang
pertama pengabdian kepada allah dan yang kedua adalah pengabdian atau dedikasi
kepada manusia. Pengabdian dalam islam selain demi kemanusiaan juga di kerjakan
demi tuhan, jadi ada unsur transenden dalam pelaksanaan profesi dalam islam.
Unsure transenden ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam islam lebih
tinngi nilai pegabdiannya dibandingkan dengan pengalaman profesi yang tidak
didasari oleh keyakinan iman kepada Allah.
E.
Daftar
Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Departemen Agama RI, Mekar Surabaya, Danakarya, 2004
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (maktabah syamilah, juz 1
An-Nawawi. Majmu’ syarah al
muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1
Armas,
Adnin. 2006. Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi
Kasus Sains Islam, “Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu.
Alfan,
Muhammad., 2011, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Badroen,Faisal., 2006, Etika Bisnis
Dalam Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group, Cet. Ke- II
Muhammad,
2005, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE
Nata, Abudin. 2002. Tafsir
Ayat ayat Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Qaradhawi,
Yusuf. 2003. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn
fî ‘Ashr al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri. Jakarta: Gunung Agung
Syafi’ie,
Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Alqur’an. Yogyakarta :
UII Press
Ya’kub, Hamzah., 1983, Etika Islami
: Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), Bandung: CV, Diponegoro.
Zubair, Ahmad Charis., 1995, Kuliah
Etika, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.
[1] Imam Syafi’ie. Konsep Ilmu
Pengetahuan dalam Alqur’an. (Yogyakarta : UII Press, 2000). hlm.
27
[2] Yusuf
Qaradhawi. Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al-Dîn fî ‘Ashr
al-‘Ilm oleh Ghazali Mukri. (Jakarta:
Gunung Agung 2003) hlm. 11
[3] Abudin
Nata. Tafsir Ayat ayat Pendidikan. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002). hlm. 159
[4] Adnin Armas.
Seminar Pandangan Hidup dan Epistemologi Islam: Studi Kasus Sains Islam,
“Krisis Epistemologis dan Islamisasi Ilmu”,.2006: 20.
[5] Ibid, hal. 168
[6] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,
(maktabah syamilah, juz 1, hlm 5)
[7] An-Nawawi.
Majmu’ syarah al muhadzdzab. (Maktabah Syamilah, juz 1, hlm. 20)
[8] Al
Ghozali, op.cit., (maktabah syamilah, juz 1, hlm 7)
[9] Muhammad
Alfan, Filsafat Etika Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.20-21.
[10] Faisal
Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group,
2006), Cet. Ke-
1, hlm. 5.
[11] Hamzah Ya’kub
, Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV,
Diponegoro, 1983), hlm. 12.
[12] Ahmad Charis
Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1995), hlm. 13.
[13] Faisal
Badroen, Op. Cit, hlm. 6.
[14] Muhammad,
Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE, 2005, hlm. 14.
[15] Ibid , hlm.
15.
[16] Al-Qur’an Surat Az-Zumar Ayat 39, Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen
Agama RI, Mekar Surabaya, Danakarya, 2004,
hlm. 664.
[17] Al-Qur’an
Surat At-Taubah Ayat 105,Ibid, hlm. 273
[18] Muhammad, Op.
Cit.,, hlm. 14.
[19] Pasaribu Popy Novita, et al,“Model Sumber Daya Manusia Berdasarkan
Nilai-nilai
Islam”. Jurnal Ekonomi IPB, Bogor, 2013.hlm. 1.
Komentar
Posting Komentar